Senin, 25 Mei 2009

Menikah ala Islam...

0 komentar

sweet intolerance

Di dalam Islam ada konsep dasar hukum Islam bahwa kehidupan laki laki dan wanita adalah terpisah. Artinya tanpa ada hajjah syar’i (kebutuhan yang dilandaskan oleh syariat) maka mereka tidak diperkenankan inetraksi (Nizhamu Ijtima’i oleh Syeikh Taqiyudin an nabhani). Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa saja hajjah syar’i tersebut, dengan kata lain di lingkup apa saja wanita dan laki laki boleh bekerja sama dan berinterkasi?

ada 3 area dimana laki laki dan wanita diperbolehkan berinteraksi:

  1. Muamalah: jual beli. artinya: wanita boleh membeli sesuatu dari seornag laki laki dan sebaliknya, atau bekerja di kantor, rumah sakit dimana laki laki dan wanita harus tetap mempertahankan batasan batasan tertentu. Misalkan di larang berkhalwat dan ikhtilath dan bertabarruj.
  2. Pendidikan. contoh: disebuah sekolah diperbolehkan guru wnaita mengajar laki laki, dan juga sebaliknya…..
  3. Kesehatan: di Rumah sakit diperbolehkan wanita dirawat oleh dokter laki laki meski sangat dianjurkan demi menjaga kehormatan dan wara’ (berhati hati) akan lebih baik wnaita dirawat oleh dokter wanita jika memang tersedia.

Nah ..di luar 3 area tadi maka laki laki dan wanit aterpisah…termasuk di dalamnya dalam walimah. Karena Walimah tidak termasuk dalam 3 area tadi. sehingga dalam walimah diharuskan untuk mencegah adanya Ikhtilhath dan juga tabarruj.

Memahami Pengertian Tabarruj

Tabarruj telah diharamkan oleh Allah SWT dengan larangan yang menyeluruh dalam segala kondisi dengan dalil yang jelas. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT:

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. an-Nûr (24): 60).

Pemahaman dari ayat ini adalah larangan bertabarruj secara mutlak. Allah membolehkan mereka (wanita yang berhenti haid dan tidak ingin menikah) menanggalkan pakaian luar mereka (jilbab), tanpa bertabarruj.

Sedangkan pengertian tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk bentuk tubuh dan sarana-sarana lain dalam berpenampilan agar menarik perhatian lawan jenis. Sarana lain yang biasa digunakan misalnya wangi-wangian, warna baju yang mencolok atau penampilan tertentu yang “nyentrik” atau perhiasan yang berbunyi jika dibawa jalan.

Orang tua (menopouse) boleh tetap mengenakan jilbab dan boleh juga mengenakan baju apa saja selain jilbab selama tidak menonjolkan perhiasan, kecantikan, bentuk tubuh ketika di kehidupan umum seperti di jalan-jalan,pasar, mall, dll. Jika wanita tua saja dilarang untuk bertabarruj, maka mafhum muwafaqahnya yaitu wanita yang belum berhenti haid lebih dilarang untuk bertabarruj.

Ayat lain yang melarang tabarruj adalah firman Allah SWT:

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (Qs. an-Nûr [24]; 31).

Allah dalam ayat ini melarang salah satu bentuk tabarruj, yaitu menggerakkan kaki sampai terdengar bunyi gelang kakinya sehingga orang lain menjadi tahu perhiasan wanita yang menggerakkan kaki tersebut, yang berarti wanita tersebut telah menonjolkan perhiasannya. Dalil ini juga menjelaskan akan larangan tabarruj, yaitu menonjolkan perhiasan.

Tabarruj berbeda dengan perhiasan atau berhias. Tidak ada makna syara’ tertentu terhadap kata tabarruj, sehingga penafsiran kata tabarruj diambil dari makna lughawi (bahasa). Tabarruj secara bahasa berarti menonjolkan perhiasan, kecantikan termasuk keindahan tubuh pada laki-laki non muhrim. Dalil lain yang menerangkan bahwa tabarruj adalah menonjolkan perhiasan, keindahan tubuh pada laki-laki asing adalah seperti yang diriwayatkan dari Abi Musa Asy Sya’rawi:

Wanita yang memakai parfum, kemudian melewati suatu kaum (sekelompok orang) supaya/sampai mereka mencium aromanya maka berarti dia pezina.

Diriwayatkan pula dengan sabda Rasulullah Saw:

Dua golongan penghuni neraka, saya belum melihat sebelumnya adalah: wanita yang berpakaian seperti telanjang dan wanita yang berjalan lenggak-lenggok di atas kepala mereka seperti punuk unta, maka mereka tidak akan masuk surga dan tidak mendapatkan baunya.

Kata telanjang, berlenggak-lenggok dan seperti punuk unta menunjukkan arti agar tampak perhiasan dan kecantikannya. Atas dasar ini dapat dimengerti bahwa tabarruj tidak sama dengan sekedar perhiasan atau berhias, namun bermakna menonjolkan perhiasan.

Adapun mengenai perhiasan, maka hukum asalnya adalah mubah untuk dikenakan selama belum ada dalil yang mengharamkanya, hal ini sesuai dengan kaidah syara’, Hukum asal suatu benda (asy yâ’) adalah mubah.

Perhiasan adalah asy yâ’ (benda). Perhiasan apapun bentuknya adalah mubah selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebagian perhiasan memang diharamkan Allah antara lain: seperti yang terungkap dari riwayat Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi melaknat wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut orang lain, wanita yang rambutnya minta disambungkan, wanita yang mentato, dan wanita yang minta ditato.

Walaupun semula berhias dalam kondisi berkabung dibolehkan akan tetapi bisa menjadi haram manakala berhiasnya menggunakan perhiasan yang haram dan apabila berhiasnya sampai menjadikannya termasuk tabarruj yaitu menonjolkan perhiasan dan kecantikan di hadapan laki-laki asing (non mahrom).

Dengan Demikian….meskipun hari itu adalah hari istimewa namun tetap hal ini harus dijaga. kecuali jika ruangan perempuan memang disediakan tersendiri (hall / ruangan terpisah) yang benar benar tertutup dan dilarang laki laki (entah itu keluarga / tamu) untuk masuk ke dalam ruangan tadi dan juga tidak memungkinkan orang dari luar ruangan melihat ke dalam.

selanjutnya mengenai Ikhtilath.

Ikthtilath adalah percampuran antara laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki-laki. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.

Sebelum membahas tentang ikhtilath, kita mesti memahami terlebih dahulu kaedah-kaedah interaksi (ijtima’) antara laki-laki dengan wanita. Kaedah interaksi antara seorang laki-laki dengan wanita dapat diuraikan sebagai berikut :

Pertama, jika suatu aktivitas memang mengharuskan adanya interaksi antara pria dan wanita, maka dalam hal semacam ini seorang laki-laki dan wanita diperbolehkan melakukan interaksi, namun hanya terbatas pada kepentingan itu saja. Sebagai contoh, adalah aktivitas jual beli. Di dalam aktivitas jual beli, mau tidak mau harus ada penjual dan pembeli. Harus ada pula kegiatan interaktif antara penjuual dan pembeli, misalnya bertanya tentang berapa harganya, barang apa yang hendak dibeli, boleh ditawar atau tidak, dan semua hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam keadaan semacam ini, maka seorang laki-laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita karena memang aktivitas tersebut mengharuskan adanya interaksi. Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi. Demikian juga dalam hal kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, perburuhan, pertanian, dan kegiatan-kegiatan lain yang mengharuskan adanya interaksi; maka dalam keadaan semacam ini seorang laki-laki diperbolehkan berinteraksi dengan seorang wanita.

Hanya saja, tatkala seorang laki-laki berinteraksi dengan seorang wanita dalam aktivitas-aktivitas seperti di atas, ia harus membatasi dirinya pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas tersebut. Ia dilarang (haram) melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar konteks perbuatan tersebut. Misalnya, tatkala seorang laki-laki hendak membeli buku kepada seorang penjual wanita, maka ia hanya diperbolehkan berinteraksi pada hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas jual beli buku itu saja. Tidak dibenarkan ia bertanya atau melakukan interaksi di luar konteks jual beli buku. Misalnya, ia menyatakan, “Wah buku ini keren, seperti pembelinya.” Atau hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan jual beli. Namun jika seseorang telah usai melakukan jual beli, kemudian ia hendak bertanya arah jalan, misalnya, maka ia diperbolehkan bertanya hanya dalam hal-hal yang berhubungan dengan arah jalan itu saja, tidak boleh lebih.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah, meskipun seorang laki diperbolehkan berinteraksi dengan wanita dalam aktivitas-aktivitas semacam itu, akan tetapi ia tetap harus memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan infishalinfishal (pemisahan). Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan. Meskipun wanita dan laki-laki diperbolehkan berinteraksi dalam aktivitas semacam ini –belajar mengajar—akan tetapi keterpisahan tetap harus diperhatikan —dengan ukuran jarak. Sebab, kewajiban infishal ini berlaku umum, lebih-lebih lagi dalam kehidupan umum. Oleh karena itu, tidak diperkenankan murid laki-laki dan wanita duduk bersama dalam sebuah bangku. (pemisahan). Misalnya, tatkala seseorang hendak membeli barang dari seorang wanita, maka ia tetap harus memperhatikan jarak. Ia tidak diperbolehkan berdekatan, atau malah memepet perempuan tersebut, atau misalnya duduk berhimpitan bersama perempuan penjual itu perempuan tersebut, tatkala hendak membeli barangnya. Meskipun dari sisi interaksi —dalam jual beli— diperbolehkan, akan tetapi, ia tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai

Kedua, jika suatu aktivitas sama sekali tidak mengharuskan adanya interaksi antara keduanya, maka seorang laki-laki dan perempuan tidak dibenarkan melakukan interaksi atau pertamuan dalam aktivitas tersebut. Contohnya, adalah bertamasya, berjalan ke sekolah, kedai, atau masjid. Seorang laki-laki diharamkan berjalan bersama-sama dengan wanita bukan mahramnya dan melakukan interaksi selama perjalanan tersebut. Sebab, interaksi dalam hal-hal semacam ini tidak dibenarkan, dan bukan merupakan pengecualian yang dibolehkan oleh syara’.

Adapun yang dimaksud dengan ikhtilath adalah campur baurnya laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya, ikhtilath itu dibenarkan dalam aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan oleh syara’. Terutama aktivitas yang di dalamnya mengharuskan adanya interaksi (aktivitas model pertama). Misalnya, bercampur baurnya laki-laki dan wanita dalam aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtimaa’iy fi al-Islaam, hal. 40).

Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-NabhaniOleh karena itu, keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan Islam adalah fardlu. Keterpisahan laki-laki dan wanita dalam kehidupan khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali yang diperbolehkan oleh syara’. Sedangkan dalam kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal antara laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki tidak boleh berinteraksi (ijtima’) di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan, disunnahkan, atau diwajibkan oleh Syaari’ (Allah SWT), dan dalam suatu aktivitas yang memestikan adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah (infishal), misalnya, pertemuan di dalam masjid, ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath), misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual beli.” (ibid, hal. 40). menyatakan, bahwa “

Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ikhtilath (campur baur) berbeda dengan interaksi. Interaksi itu bisa berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath (bercampur baur). Kita juga bisa menyimpulkan bahwa bolehnya seseorang melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan berarti membolehkan dirinya melakukan ikhtilath. Sebab, ada interaksi-interaksi yang tetap harus dilakukan secara terpisah, misalnya di dalam masjid, dalam majelis ilmu dan dalam walimah, dan sebagainya. Adapula interaksi yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur-baur, misalnya jual beli, naik haji.

Pada interaksi-interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan cara ikhtilath, maka seorang laki-laki diperbolehkan melakukan ikhtilath. Misalnya bercampur baurnya laki-laki dan wanita di pasar-pasar untuk melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki-laki dan wanita di Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur baurnya laki-laki tatkala berada di halte bus untuk menunggu bis, di tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Namun demikian, walaupun mereka boleh berikhtilath dalam keadaan ini, akan tetapi mereka tetap tidak boleh mengobrol, bercengkerama, atau melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur baur dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita yang ada di sampingnya, kecuali ada hajah yang syar’iy. Namun, jika masih bisa dihindari adanya ikhtilah, akan lebih utama jika seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, memilih tempat duduk yang diisi oleh laki-laki. Atau, negara bisa memberlakukan pemisahan tempat duduk laki-laki dan wanita di kendaraan umum.

Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak diperbolehkan. Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki-laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam bangku sekolah, dan lain sebagainya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.

Dengan Demikian, pernikahan yang Islami adalah pernikahan dimana tamu laki laki dan wanita terpisah total, dan sang penganten mencegah dirinya dari Tabarruj (berhias yang berlebihan dihadapan laki laki non mahram). namun seperti yang saya sampaikan di atas, jika penganten wanita dan tamu wanita berada di ruangan khusus wanita yang terlarang bagi laki laki manapun untuk masuk maka dibolehkan wanita berhias secantik mungkin dan memakai pakain pengantin tanpa kerudung (asal masih menutup aurat sesuai dengan batasan aurat antar wanita) karena memang tidak ada laki laki di dalam ruangan tersebut yang menjadi premis diharamkannya tabarruj.
Reblog this post [with Zemanta]
READ MORE - Menikah ala Islam...

Persahabatan dalam Islam

1 komentar

Not something you see every day!

Pertumbuhan jiwa manusia, selain karena bakat-bakat alam yang dibawa sejak lahir, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, termasuk lingkungan pergaulan dan persahabatan. Demikian pendapat penganut madzhab konvergensi atau interaksionisme yang merupakan sintesis dari madzhab nativistik dan environmentalistik.

Di kalangan umat Islam, terutama kaum sufi dan orang-orang yang menaruh perhatian dan concern terhadap pendidikan moral umat, pengaruh positif-negatif dari pergaulan dan persahabatan itu sudah cukup lama menjadi perbincangan. Tak heran bila diskursus atau wacana tentang persahabatan itu (shuhbah) selalu mewarnai karya-karya mereka. Suhrawardi, lewat bukunya 'Awarif al-Ma'arif, menyebut persahabatan itu sebagai kecenderungan fitri manusia dan merupakan salah satu dari sekian banyak nikmat dan anugerah Allah SWT (Q.S. 3:103).

Persahabatan, kata Suhrawardi, dapat diibaratkan seperti pintu yang akan mengantar manusia menuju sorga atau neraka. Mengapa? Jawabannya, seperti diutarakan Ibn Abbas, karena persahabatan dapat menimbulkan kebaikan dan keburukan sekaligus. ''Tak ada yang dapat merusak manusia selain manusia itu sendiri,'' demikian Ibn Abbas. Agar persaudaraan dan persahabatan itu melahirkan kebaikan-kebaikan, duniawi maupun ukhrawi, maka dalam persaudaraan itu harus ditegakkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang terpuji. Di antaranya adalah sifat saling tolong menolong dalam kebaikan (Q.S. Al-Maidah, 2), saling berpesan dalam kebenaran (Q.S. Al-Balad, 17), dan saling kasih mengasihi di antara mereka (Q.S. Al-Fath, 29).

Persaudaraan dan persahabatan harus pula didasarkan pada kesamaan idealisme dan cita-cita. Dalam kaitan ini, Ibnu 'Athailah, lewat kitab Hikam-nya mengingatkan. Katanya: ''Jangan kamu bergaul dan berteman dengan orang yang idealisme, cita-cita, sikap, dan prilakunya tidak mendorongmu ke jalan yang benar, yaitu jalan Allah SWT.'' Ini mengandung makna bahwa tidak setiap orang layak dijadikan sebagai teman atau sahabat.

Persaudaraan yang sejati, menurut satu Hadits, adalah persaudaraan antara dua anak manusia yang diikat oleh tali dan rasa cinta kepada Allah SWT. Lalu, mereka hidup bersama karena Allah, berjuang bersama karena Allah, dan mati bersama juga karena Allah. Inilah realitas persaudaraan yang sungguh sangat sejati dan abadi.

Dalam kehidupan di mana sekat-sekat antara kebenaran dan kebatilan semakin kabur (tasyabuh), maka identifikasi tentang siapa kawan dan siapa lawan menjadi kabur pula. Dalam keadaan demikian, petuah kaum sufi dalam wacana persaudaraan menjadi relevan untuk direnungkan kembali. Semoga persaudaraan dan persahabatan kita kekal dan abadi!!
READ MORE - Persahabatan dalam Islam

Sabtu, 23 Mei 2009

Persahabatan Sejati

0 komentar
Dalam persaudaraan atau persahabatan sejati, hubungan terjalin demi kebaikan. Karena kebaikan merupakan sesuatu yang tidak berubah-ubah, hubungan mereka yang diikat secara begini tidak akan tergoyahkan. Kasih sayang mereka berlangsung abadi, tidak sementara. Motivasinya kebaikan.

Bagi para pemburu kebaikan, sedikit saja kenikmatan sudah mencukupi. Ibaratnya, kenikmatan itu bukan makanan, melainkan bumbu masak yang menyedapkan makanan dengan porsi yang pas. Apabila bumbunya lebih dari cukup atau terlalu banyak, maka makanan itu malah bisa menjadi kurang atau tidak lezat lagi. Kalo lomboknya terlalu pedas, maka bisa-bisa mulut dan perut ‘terbakar’.

Namun, hik…hik…Sedikit sekali orang yang cukup peka untuk menyadari sejauh mana kelezatan itu sudah mencukupi. Banyak orang berburu kenikmatan yang tidak pernah terpuaskan. Tak sedikit om-om atau kakek-kakek yang “maaf” ‘doyan daun muda’. Tak sedikit pencinta yang memanfaatkan kekasih untuk kepentingannya sendiri. Tak banyak manusia yang menjalin talii ukhuwah dengan lawan jenis seperti antara Rasulullah SAW dan Ummu Sulaim r.a :

Dari Anas r.a dikatakan, Ummu Sulaim menggelar tikar dirumahnya untuk Nabi SAW, lalu beliau tidur suang diatasnya. Ketika Nabi SAW tidur, Ummu Sulaim mengambil keringat dan rambut beliau, kemudian mengumpulkannya dalam suatu bejana, menyatukannya dengan wewangian. Lalu ia memasukkannya ke dalam botol-botol kecil. Kemudian Nabi SAW bertanya, “Wahai Ummu Sulaim!! Apa itu??” Ia menjawab, “Keringatmu”. Aku mencampurkannya dengan minyak wangiku. (HR. Bukhari & Muslim)

Dari Anas r.a dikatakan, Nabi SAW setiap kali lewat di dekat Ummu Sulaim, beliau singgah menemuinya. Nabi SAW tidak secara rutin memasuki rumah di Madinah selain rumah Ummu Sulaim dan rumah istri-istri beliau. Ketika ditanya hal tersebut, Nabi SAW menjawab, “Sesungguhnya aku menyayanginya, [lagi pula] saudaranyaterbunuh [mati syahid] sewaktu bersamaku” (HR. Bukhari & Muslim)

Subhanallah…Sungguh indah jalinan persaudaraan dan persahabatan antara Rasulullah SAW dan Ummu Sulaim. Tali ukhuwah yang terjalin di atas Ridho Allah SWT, yang tak akan terputus selamanya. Eit, tapi gak adil dong kalo dibandingkan dengan persahabatan ala ‘remaja masa kini’.

Sumber
READ MORE - Persahabatan Sejati

Advertisement

Kotak Dialog


ShoutMix chat widget
 

Dibangun pada 2009 Hak Kreasi pada admin ya... oleh Rudiyanto